Sepuh dan Disepuh

Gemini Generated Image Nq2kr6nq2kr6nq2k

Sepuh dan Disepuh
satu dengan yang lainnya memang berbeda

@yudhaheryawanasnawi

Sepuh adalah kata yang mengalir pelan dari ruang hidup yang panjang. Ia tidak selalu hadir pada mereka yang berumur, tetapi pada siapa pun yang telah menyatu dengan waktunya—yang hatinya matang, langkahnya tertata, dan suaranya tak lagi ingin menguasai. Ia seperti kayu tua yang menghangatkan, bukan karena apinya besar, tapi karena bara dalamnya bertahan lama. Sedangkan disepuh adalah sebuah lapisan luar: proses membungkus sesuatu agar tampak lebih bernilai. Ia tidak selalu keliru, tapi kerap menyisakan kesan semu—yang berkilau di luar, namun belum tentu kuat di dalam.

Dalam kehidupan sosial, sepuh adalah mereka yang menghadirkan rasa tenteram. Ia mungkin tak banyak bicara, tapi satu kalimatnya bisa menjadi pegangan. Ia tak sibuk menilai, tapi tatapannya mengajak orang kembali ke diri. Disepuh, sebaliknya, sering muncul dalam bentuk yang menyenangkan mata—penuh warna, penuh suara, dan tampak meyakinkan. Namun kerap kita temukan, di balik semua itu ada ruang yang belum selesai diolah. Seperti tembaga yang disiram emas, tampak mahal, padahal mudah mengelupas bila diuji musim.

Sepuh tak lahir dalam semalam. Ia tumbuh pelan-pelan, dari luka yang tidak disangkal, dari rindu yang tak tergesa dituntaskan, dan dari kesediaan menunggu yang tak semua orang kuat menjalaninya. Dalam banyak hal, sepuh adalah sikap: memilih diam tanpa merasa kalah, memberi tanpa perlu diketahui, dan hadir tanpa perlu disebut-sebut. Maka anak muda pun bisa sepuh, bila ia telah cukup akrab dengan keheningan dan tak lagi berlari mengejar sorak-sorai.

Sementara disepuh, lebih banyak tentang bentuk. Ia dibentuk, dirancang, dan sering kali digesa agar tampak sudah tiba, padahal baru mulai berjalan. Dunia memang banyak mendorong orang untuk cepat terlihat dewasa, cepat sukses, cepat jadi “panutan”, bahkan ketika hatinya belum mengenal dalamnya kecewa. Maka tak jarang kita melihat banyak yang terhias luar, tapi goyah ketika diuji. Sebab yang disepuh cenderung rapuh, jika ia belum menyentuh kejujuran pada dirinya sendiri.

Baca Juga:  Orangtua Itu Dan Rukunnya

Dalam pandangan ruhani yang tenang, sepuh adalah buah dari pasrah yang panjang. Bukan pasif, tapi pasrah dalam makna yang dalam: menerima, memeluk, menyadari bahwa tak semua harus segera berhasil. Dalam Islam, orang-orang yang sepuh tidak selalu mereka yang dikenal atau dimuliakan di hadapan manusia, tapi mereka yang setiap langkahnya adalah dzikir, setiap diamnya adalah pengertian. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: “Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (Az-Zumar: 9). Sepuh bukan gelar, melainkan kedalaman yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang menghidupi makna.

Disepuh bisa menyilaukan sesaat, namun sepuh memendar lebih lama. Disepuh menawan mata, sepuh menyentuh hati. Kita boleh mulai dari disepuh—karena semua orang memang punya fase pencarian bentuk. Tapi bila berhenti di sana, kita hanya akan menjadi kulit yang mudah luntur. Maka penting untuk terus menyelam, menemukan bahan dalam yang bisa membentuk kita secara utuh: kejujuran, ketulusan, kerelaan untuk tidak cepat selesai.

Karena pada akhirnya, yang bertahan bukan yang paling mencolok, melainkan yang paling mengakar. Sepuh dan disepuh bisa tampak serupa dari jauh, tapi mendekatkan diri padanya akan terasa bedanya. Hikmahnya, kita belajar untuk tak cepat merasa matang, dan tak perlu takut belum tampak bercahaya. Yang penting adalah terus jujur menjalani—karena dari sanalah penyepuhan sejati dimulai.

Yudha Heryawan Asnawi

Penulis/Pengirim

Bagikan Liputan Ini ke Teman dan Grup

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *