Melipat Waktu

Melipat Waktu
Yang ini sains kebingungan, padahal ini adalah keniscayaan.

Melipat Waktu
Yang ini sains kebingungan, padahal ini adalah keniscayaan.

@yudhaheryawanasnawi.

Seorang sufi pernah berkata, “Waktu tidak melulu berjalan seperti bergeraknya matahari , tapi ia adalah sesuatu yang bisa dilipat-lipat oleh kita” Kalimat ini tentu terlalu menghentak rasionalitas dan menyerahkan waktu kepada antropho-sentris yang sombong. Namun satu sisi bisa juga kalimat itu tersikapi oleh sesuatu yang sesungguhnya sebagai “bergetar” dalam sunyi, menembus lapisan realitas, bahwa waktu bukan sekadar jam berdetak atau bayang matahari bergeser. Ia bisa mengerut, bisa membentang, bisa tercecer dalam sesal, bisa tertata dalam kesadaran. Di tangan yang hening dan hati yang hadir, waktu seolah menjadi kain yang bisa dilipat—mendekatkan jarak yang jauh, bisa juga menyingkatkan langkah yang panjang, atau justru sebaliknya hanya memperpanjang srsuatu yang seharusnya pendek.

Secara semantik, waktu berasal dari akar kata Arab waqata–yaqitu–waktun, yang berarti “membatasi” atau “menentukan batas.” Dalam ilmu nahwu, waktu sering diwakili dalam bentuk kata kerja (fi’il), karena fi’il senantiasa mengandung zaman—masa lalu, sekarang, atau yang akan datang. Sedangkan dalam shorof, fi’il berubah mengikuti waktu, dari sisi bahasa Arab secara struktural, waktu menautkan dengan dimensi temporal. Maka waktu bukan hanya substansi metafisik, ia juga hadir dalam struktur bahasa, dalam logika dan kesadaran kita akan peristiwa.

Secara filosofis waktu tidak berhenti pada detik dan menit, tetapi masuk ke dalam dimensi yang lebih dalam: dimensi psikologis, eksistensial, dan bahkan spiritual. Ada waktu inderawi yang bisa diukur dengan arloji, ada waktu batiniah yang hanya bisa dirasakan oleh jiwa yang peka. Dalam pengalaman batin yang mendalam, satu malam bisa setara dengan seribu bulan. Waktu bisa padat oleh makna, atau hampa oleh kelalaian. Maka, waktu adalah ruang kesadaran, bukan sekadar rentang peristiwa.

Baca Juga:  Di Antara Ilmu dan Cahaya

Dimensi waktu terbagi pula ke dalam: zaman linear, zaman siklikal, dan zaman vertikal. Zaman linear mengalir dari lahir menuju mati. Zaman siklikal adalah waktu yang berputar seperti musim dan rotasi bumi. Tapi zaman vertikal—ini yang dilipat oleh mereka yang menekuni jalan sunyi—adalah waktu yang turun dari kedalaman dan naik bersama intensi. Di situ, satu momen bisa menembus ribuan tahun; satu niat bisa menembus batas sejarah. Bukan karena ia cepat, tapi karena ia dalam.

Manusia bisa mengelola waktu seperti mengelola cahaya: difokuskan, dibelokkan, atau dibiarkan menyilaukan. Seseorang yang jernih dan tulus bisa menyelesaikan banyak hal dalam satu jam, sedangkan yang lalai bisa membuang seharian tanpa jejak. Di sinilah letak makna melipat waktu: bukan membuat waktu lebih pendek, tapi membuat nilai dalam waktu itu lebih padat. Bukan soal berapa lama kita hidup, tapi seberapa dalam kita hidup dalam setiap saat.

Namun, waktu juga bisa dilipat untuk keburukan. Dalam sejarah, satu detik bisa menyalakan perang, dan satu malam bisa menghancurkan peradaban. Maka pertanyaannya bukan hanya “bagaimana melipat waktu”, tetapi “untuk apa waktu itu dilipat”. Seperti pisau tajam yang bisa menjadi alat bedah atau senjata pembunuh, waktu pun netral—menjadi suci atau nista tergantung pada tangan dan kehendak yang mengarahkan.

Maka, hikmah dari melipat waktu adalah kesadaran bahwa waktu bukan musuh, bukan pula bayangan yang mengejar. Ia adalah cermin dari kehadiran batin kita. Jika hati hadir, waktu melambat dan padat. Jika hati lalai, waktu menguap tanpa jejak. Waktu adalah amanah yang diberi bentuk oleh makna. Melipat waktu bukan tentang mempercepat takdir, melainkan memperdalam makna dari setiap detik yang lewat. Sebab, pada akhirnya, bukan waktu yang pergi, tapi kitalah yang berlalu.

Baca Juga:  Orangtua Itu Dan Rukunnya

Yudha Heryawan Asnawi

Penulis/Pengirim

Bagikan Liputan Ini ke Teman dan Grup

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *