Di Antara Ilmu dan Cahaya

Di Antara Ilmu dan Cahaya

Di Antara Ilmu dan Cahaya
Bukan Hanya Al Ghazali, mungkin juga kita,
Bukan Hanya Pendidik, mungkin yang lainnya juga

@yudhaheryawanasnawi.

Beberapa hari ini saya membaca buku Al Munqidz ad Dhalai, sebuah biografi seorang ilmuwan yang bernama Abu Hamid Al-Ghazali. Ada yang menyentuh dari biografi tersebut, yaitu ketika Al Ghazali memasuki fase kegundahan di tengah gelimang kemegahan dunia pendidikan saat itu, sebuah pembelajaran yang menyusup relung kalbu.
__
Dalam hidup, terkadang seseorang tiba-tiba merasa lelah, bukan karena tubuh yang letih, tapi karena jiwa yang entah ke mana arahnya. Ia menjalani hari-hari seperti biasa—mengajar, bekerja, menulis, berbicara—namun ada sesuatu yang terasa kosong. Semua yang ia lakukan tampak bermanfaat di mata orang lain, tapi di dalam dirinya sendiri, ada keraguan yang tumbuh: apakah ini benar-benar bermakna?

Ya, Ratusan tahun lalu, seorang pemikir besar bernama Abu Hamid Al-Ghazali itu pernah merasakan hal yang sama. Ia dikenal luas sebagai guru besar dan cendekiawan, dihormati dan diikuti banyak orang. Tetapi di tengah semua itu, ia justru dilanda kegelisahan batin. Ia mulai meragukan tujuan dari semua aktivitasnya. Apakah ia mengajar demi kebenaran, atau demi nama? Apakah ia menulis untuk memberi cahaya, atau untuk menjaga gengsi?

Pertanyaan-pertanyaan itu tidak menghancurkannya, justru menyelamatkannya. Ia memilih untuk diam. Ia tinggalkan jabatan dan pengaruh, lalu pergi menyepi, mencari kembali suara hatinya yang sempat hilang. Dalam kesunyian, ia membaca, merenung, dan perlahan menyentuh kembali sisi terdalam dari dirinya—sisi yang tak bisa dibeli oleh sanjungan atau dipuaskan oleh pengakuan. Ia tidak sedang lari dari dunia, tapi sedang belajar melihat dunia dengan cara yang baru: lebih jernih, lebih jujur, dan lebih merdeka.

Baca Juga:  Alun-Alun

Kisah ini bukan hanya tentang seorang tokoh sejarah keilmuan. Ia adalah cermin bagi siapa pun di zaman apa pun—terutama bagi mereka yang berkarya, mengajar, memimpin, membimbing. Ia bisa msnjadi cermin bagi siapa pun yang pernah ingin memberi manfaat, tapi di tengah jalan mulai kehilangan arah. Bukan karena niat awalnya salah, tapi karena begitu mudahnya niat itu tertutup oleh hasrat yang samar: ingin diterima, ingin dianggap penting, ingin dipuji.

Kita semua mungkin pernah ada di sana, atau mungkin sedang di sana. Dan tak ada yang salah dengan merasa lelah, atau merasa ragu. Justru saat-saat itulah yang paling berharga—saat kita berhenti, diam, dan mendengarkan kembali suara yang sejak awal membimbing kita: suara nurani. Ia mungkin pelan, tapi ia tahu jalan pulang.

Bagi para pendidik, pemikir, dan siapa pun yang bekerja untuk sesama, kisah Al Ghazali mengingatkan kita bahwa pekerjaan kita bukan hanya soal pencapaian luar, tapi juga soal pertumbuhan yang dalam. Bahwa memberi makna tidak harus selalu lewat panggung besar; kadang justru lewat ruang-ruang sunyi, saat kita jujur pada diri sendiri.

Al-Ghazali akhirnya kembali ke dunia dengan cara yang berbeda. Ia tetap mengajar, tetap menulis, tapi kini dengan hati yang lebih tenang. Ia tak lagi dikejar oleh nama, melainkan digerakkan oleh makna. Dan mungkin itulah cahaya yang sejati—bukan yang membuat kita bersinar di mata dunia, tapi yang menuntun kita kembali menjadi manusia.

Semoga kita semua, dalam profesi dan peran apa pun, senantiasa diberi keberanian untuk berhenti sejenak, mendengarkan suara batin, dan berjalan kembali dengan niat yang lebih jernih. Karena mungkin di situlah letak kemuliaan hidup: bukan pada seberapa tinggi kita berdiri, tapi pada seberapa dalam kita memahami ke mana kita sebenarnya melangkah.

Baca Juga:  Orangtua Itu Dan Rukunnya

Yudha Heryawan AsnawiPenulis/Pengirim

Bagikan Liputan Ini ke Teman dan Grup

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *