Alun-alun
bukan hanya Alun-Alun Kota Pekalongan, ~ Melainkan ada filosofi lama yang tertinggal di sana
@yudhaheryawanasnawi
__
Pagi ini di Pekalongan, saya menyusuri alun-alunnya. Tempat ini tak pernah sekadar ruang kosong—ia seperti dada bumi yang menampung denyut masyarakat. Udara membawa aroma laut utara, cahaya matahari menerobos langit separuh mendung. Di sini, ruang terbuka menyambut bukan sebagai tempat semata, tetapi sebagai makna. Kata alun-alun, dari alun—gerak perlahan bagaikan napas panjang—menyiratkan kesinambungan batin dan ketenangan yang tak terburu. Di tengah kota yang padat dan tergesa, alun-alun menghadirkan jeda bagi pikiran untuk duduk dan rasa untuk menatap ke dalam.
Dalam filosofi Kejawen, alun-alun adalah ruang antara—menengahi langit dan bumi, kekuasaan dan rakyat. Letaknya yang menghadap laut dan membelakangi gunung bukan kebetulan: gunung sebagai asal spiritualitas, laut sebagai arah keterbukaan. Manusia berada di antara keduanya—mengolah dari atas dan meneruskan ke depan. Meski Alun-Alun Pekalongan bukan alun-alun tertua di tanah Jawa, ia tetap menyimpan percik makna. Rerumputannya tak seleluasa dulu, sebagian telah dibangun, namun napas leluhur masih berembus di sela-sela angin yang melintas.
Pohon beringin di sini tidak berada di tengah, melainkan tersebar di sudut-sudut, seperti penjaga yang diam. Dalam tradisi Jawa, beringin melambangkan keabadian dan keteduhan. Di Pekalongan, ia tumbuh tidak menjulang dan rindang, seolah memelihara jarak dengan keramaian. Dari situ tersirat tafsir berbeda: kekuatan tak selalu hadir dalam tinggi dan teduh, melainkan dalam kesediaan untuk menyepi. Diam di bawahnya bukan kelemahan, tapi kebijaksanaan yang menahan diri dan memberi ruang langit menyapa.
Alun-alun juga mencerminkan relasi kuasa dan spiritualitas. Dalam tata kota Islam Mataram, ia ditempatkan antara istana dan masjid. Di Pekalongan, Masjid Jami’ berdiri di sisi barat, menghadap kiblat, menandakan arah tertinggi menuju Yang Esa. Dahulu, ruang ini jadi tempat pengumuman, pertunjukan rakyat, hingga prosesi keagamaan. Ia merajut garis sosial, spiritual, dan politis, menyimpan gema sejarah yang tak berteriak namun terus mengalir dalam batin masyarakatnya.
Secara sosiologis, alun-alun adalah jantung kota. Warga berdatangan: berdagang, bermain, menunggu, bercakap. Pedagang kaki lima membuka tikar, anak-anak mengejar angin, ruang ini menjadi panggung tanpa kasta. Tak ada dominasi beton tinggi—hanya gerobak, tawa, dan percakapan yang membuat ekonomi rakyat berdetak secara manusiawi.
Kini, alun-alun Pekalongan berada di titik tarik-menarik antara nilai lama dan dorongan zaman. Beberapa sisinya dihias taman cahaya, panggung, dan spot foto; di sudut lain, pendopo lama kota tampak kurang terurus meski pilar kayunya menyimpan rentetan sejarah panjang—sebuah pemandangan yang menimbulkan sedih sekaligus pengingat akan tanggung jawab menjaga warisan. Modernisasi memang membawa fasilitas, tetapi juga memunculkan pertanyaan: mampukah ruang yang dirias tetap menampung jiwa yang mencari makna? Dalam benturan itu, alun-alun menawarkan dialektika—antara keheningan dan keramaian, akar dan tampilan.
__
Alun-alun bukan hanya bagian kota; ia cermin batin manusia. Hidup pun butuh ruang kosong—bukan kehampaan, tapi kesiapan. Dalam batin yang lapang, makna menemukan tempatnya. Alun-Alun Pekalongan, meski tak sepenuhnya lapang lagi, masih menyisakan jejak itu: manusia terus mencari tanah terbuka untuk diam sejenak—bukan berhenti, melainkan mengingat dari mana ia datang dan hendak ke mana melangkah.
Yudha Heryawan Asnawi
Penulis/Pengirim
Jakarta – Aula Rumah Sakit Santa Elisabeth, Bekasi dipenuhi semangat dan keceriaan. Pada hari itu,…
Di Antara Ilmu dan CahayaBukan Hanya Al Ghazali, mungkin juga kita,Bukan Hanya Pendidik, mungkin yang…
JAKARTA – Perkumpulan Juang Kencana (JuKen) BKKBN, wadah bagi para pensiunan Badan Kependudukan dan Keluarga…
Sepuh dan Disepuhsatu dengan yang lainnya memang berbeda @yudhaheryawanasnawi Sepuh adalah kata yang mengalir pelan…
Jakarta, 23 Juli 2025 - Hotel Green Forest, Bogor, menjadi saksi bisu kehangatan dan semangat…
Melipat WaktuYang ini sains kebingungan, padahal ini adalah keniscayaan. @yudhaheryawanasnawi. Seorang sufi pernah berkata, “Waktu…